Dear X

konten 1
konten 2
konten 3
GEOGRAFI (3) cita-cita (1) (1)

Kamis, 10 Desember 2015

Siapa Penjaga “Langsung” Hutan di Indonesia?

Oleh: Lady Hafidaty Rahma Kautsar

Sebuah Perjalanan 10 Desember 2015
Langit menangis, pada saat saya hendak menyusuri jalan menuju Perpustakaan UI, tepatnya di ruang Cinema. Hari ini, dengan semangat baja, saya menerjang hujan (dengan nekad membeli payung—yang entah kenapa rejeki banget, di jual persis di depan stasiun Pocin).
     Ya, perjalanan saya tidak sia-sia. Saya mendapatkan berbagai pengetahuan dan ilmu di ruang itu siang ini. Serta pertemanan baru dengan junior dari Psikologi UI yang cukup kritis, ekstrovert dan ramah. Lingkungan dan manusia, kemungkinan itulah passion saya. Semenjak masuk di jurusan berhubungan ilmu bumi... merasa tertantang untuk terus mengasah daya ingat, cara pandang dan ketajaman berpikir seorang geografer macam saya. Hingga level tertinggi yang paling mungkin saya capai. With my own way. 

Jika melihat judul di atas, bisa ditebak “hutan”. What’s up with the forest? Who care with it? If Not Us, Then Who? Namun, secara logika...

Kalo gue anak kota, hidup di kota, belajar/kerja di kota, gak di hutan, gimana gue jaga hutan coba? Gue kan gak mungkin berperan langsung.. (well, sebenarnya jaga hutan bisa macam-macam bentuknya, misalnya menghemat produk hutan berupa kertas—tapi saya sadari selama masih diproduksi massal kertas sih...ehm, setidaknya penggunaan kertas yang bolak-balik cukup membantu karena jika rantai konsumtif akan mempengaruhi produksi kertas juga).

Terus? Siapa yang bisa berperan LANGSUNG?
Jawabannya di film yang gue tonton ini: MASYARAKAT ADAT.

Well, sebenarnya ada 4 film yang dibahas disini. Secara inti masyarakat adatlah yang memiliki kebutuhan pada hutan secara langsung untuk bertahan hidup, sehingga merekalah tokoh-tokoh sebenarnya yang menjaga hutan.
Berbagai kasus soal masyarakat adat ini, salah satunya ialah tanah. Tanah adat. Dikatakan pada diskusi film bahwa dipetakan wilayah termasuk wilayah masyarakat adat dengan skala 1:250.000.
( Ini tidak sepenuhnya benar, menurut pendapat saya. Peta ada bermacam skalanya, dari skala kecil, menengah dan besar, dibuat tergantung kebutuhan dan permintaan klien. Seharusnya BIG dalam membuat peta memberikan wadah bagi masyarakat setempat yang dipetakan untuk ikut berpartisipasi dalam membuat peta. Masyarakat pun melapor pada BIG berkaitan dengan pemetaan wilayahnya. Misalkan, masyarakat adat membuat peta skala besar untuk wilayahnya, kemudian BIG diberikan data tersebut sebagai referensi saat membuat peta baik skala besar, menengah maupun kecil. Masalahnya, dalam pembuatan peta apakah konsultan yang memenangkan tender membuat peta mau berkomitmen untuk berkoordinasi dengan masyarakat yang ada di wilayah tersebut juga? Artinya, pemetaan pun menjadi lebih lama, karena menginginkan hasil yang akurat dan maksimal. Akurat dan maksimal berarti waktu pun bertambah. Buatlah waktu yang realistis untuk deadline, dan sebaiknya tidak ada pembuat peta yang overlap mengerjakan project, karena akan tidak maksimal. 
Biaya pun sebenarnya bisa ditekan jika masyarakat adat mau membantu pemetaan, karena ini juga menyangkut kepentingan mereka juga. Daripada tidak diakui wilayahnya? Inilah yang disemestinya disebut dengan ONE MAP POLICY. Kebijakan Satu Peta. Memang dikeluarkan lembaga berwenang, ditenderkan dan dimenangkan lalu dikerjakan oleh konsultan, tetapi alangkah baiknya jika dibuat UU untuk melibatkan masyarakat setiap membuat peta, terutama untuk peta skala menengah dan besar. Dan apabila dari citra, pergunakanlah citra yang memang tampak jelas, jangan samar-samar, karena akan mempengaruhi output kualitas peta yang dihasilkan. )
Masalah tanah lagi-lagi sengketa tanah dengan perusahaan yang ingin membuka lahan, karena tanah masyarakat adat tidak terpetakan dalam peta, jadi pemerintah memberi izin untuk membuka lahan.
{ Tanah adat, semestinya dibuatkan setifikat tanahnya—inilah yang pernah menjadi fokus oleh Bapak I Made Sandy dulu. Anak didikannya, Pak Silalahi sayangnya sudah wafat, sehingga informasi ini entah bisa dijelaskan kembali oleh siapa, tetapi tentu buku-buku dan para pakar pertanahan masih ada hingga sekarang (I hope the honest individuals will be the winners) }.
Akhirnya, demi melawan pemerintah  (yang seharusnya pemerintah mendampingi rakyat)—pemerintah yang sudah memberikan izin pada perusahaan membuka lahan baik untuk perkebunan maupun pertambangan—masyarakat melakukan cara-cara yang sama seperti yang dilakukan pemerintah yakni membuat peta. Ya, pemetaan partisipatif dibantu oleh para LSM.
Contohnya masyarakat Kalimantan Barat. Suku Dayak dan Dronas. Masyarakat adat disini melakukan pemetaan partisipatif guna mempertahankan wilayahnya. Dijelaskan pula dalam film sekilas mengenai perubahan iklim dan perubahan penggunaan lahannya akibat hal tersebut. Kemudian masyarakat Tobelo yang semi nomaden dan berburu membutuhkan hutan untuk menghidupi keluarganya.
Film berlanjut pada Panduman dan Sipituha (Sumatera). Disana hutan tidak dibakar oleh masyarakat adat, tetapi malah dilestarikan. Alasannya karena itulah mata pencaharian mereka. Misalnya, pohon kemenyan mereka ambil getahnya lalu dijual untuk membuat dupa. Namun bapak-bapak yang melakukan mata pencahariannya, karena mendadak menjadi wilayah konsesi ditangkap oleh aparat kepolisian. “Hutan kami harus dipulangkan pada kami”. “Prinsip saya semua hutan yang ada di Indonesia gak boleh dihilangkan.”
    Dibahas pula Sungai Utik, Kalimantan Barat, Indonesia. Disebutkan bahwa hutan itu sangat penting untuk penunjang ekonomi karena banyak sekali yang bisa dipakai. Hutan dengan masyarakat sini menjadi kawan. Pernah ada Tangerang Limited, lalu masyarakat adat demo. “Kalo wilayah ini selamat dan tidak ada konsensi disini dan masih luas, apa yang buat kita pertahankan karena semua di hutan.”

Ya, hutan menjadi sesuatu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyakat adat. Banyak tanaman di hutan yang bisa untuk obat (misalnya penyakit gatal, demam, flu, dll) “Rasa syukur pada daerah hutan mesti dijaga”.

Film kemudian dilanjutkan dengan diskusi oleh INFIS (E.N. Irawan Putera), Pusat Studi Antropologi UI—Peneliti senior di PUSCA (Mas Aji), Forest Watch Indonesia (Mas Mufti)—sudah menghasilkan berbagai publikasi. Mereka ingin bikin sistem pelaporan online Indonesia mengenai hutan, tapi kenapa tidak terintegrasi dengan “ LAPOR! “ ?

“60% hutan dikuasai konsensi pertambangan dari luas daratan di pulau-pulau kecil”
“Karena sumber kehidupan masyarakat adat adalah hutan, tidak mungkin membakar hutan”.
“Kebanyakan perusahaan tidak mau bicara...”.


“Sayang sekali dari pembicara tidak satupun ada orang geografinya, padahal geografi mempelajari tentang masyarakat adat juga, dan pemetaan kunci utama dari pembahasan geografer. Peta adalah alat kami—sebagai science dan tools(Lady)

Kalo Bukan Kita, Siapa Lagi? If Not Us, Then Who?
--------------------------------------------------------------------------------------
Pemutaran Film dan Diskusi: Perjuangan Masyarakat Adat dalam Melindungi Hutan Indonesia dan Perubahan Iklim secara Global.
Pusat Riset Perubahan Iklim UI bekerja sama dengan Indonesia Nature Film Society (INFIS).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

merci beaucoup~ :) your opinion's so valuable for me



Powered by mp3skull.com